Menurut ajaran Islam yang
berhak menjatuhkan perceraian ialah:
1.
Suami, yang disebut dengan
talak (baca QS. al-Baqarah, 2: 228, 229, 230, dan lain-lain.
2.
Hakim (baca QS. an-Nur,
24:6 dan sababun nuzulnya).
3.
Perceraian yang terjadi
(jatuh) dengan sendirinya, karena salah seorang suami atau istri meninggal
dunia (QS. al-Baqarah, 2:234).
Belum ditemukan dalil yang menyebutkan bahwa perceraian
dapat terjadi selain dari 3 (tiga) proses di atas, termasuk di dalamnya perceraian
yang dijatuhkan penghulu.
Mengenai talak ada dua macam, yaitu talak raj’i
dan talak ba’in. Talak ba’in ada dua macam, yaitu ba’in sughra
dan ba’in kubra. Talak raj’i ialah talak yang dalam masa iddah
suami boleh rujuk kepada istrinya, berdasarkan ayat 228 surat al-Baqarah:
…وَبُعُولَتُهُنَّ
أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاَحًا … (البقرة: 228)
Artinya: “…Dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para
suami) itu menghendaki ishlah …” (QS. al-Baqarah, 2:228)
Talak bisa dijatuhkan suami dengan alasan yang
dibenarkan.
Ada tiga macam masa iddah bagi istri yang ditalak
suaminya, sesuai dengan keadaan istrinya:
1.
Tiga kali quru’ (ada
yang mengartikan quru’ dengan suci dan ada pula yang mengartikan dengan haidl
(bagi istri yang masih mengalami masa haidl). Baca QS. al-Baqarah,
2:228).
2.
Empat bulan sepuluh hari
bagi istri yang kematian suami (baca QS. al-Baqarah, 2:234).
3.
Tiga bulan bagi istri yang
tidak mempunyai masa haidl lagi (seperti telah tua) atau istri yang
ragu-ragu tentang kedatangan masa haidlnya (baca QS. ath-Thalaq, 65:4).
Dari keterangan di atas dapat difahami bahwa apabila
seorang suami menjatuhkan talaknya yang pertama atau yang kedua, ia boleh rujuk
kepada istrinya dalam masa iddah istrinya itu. Jika pihak suami tidak
rujuk kepada istrinya, maka pada saat habis masa iddahnya itu, status
talak raj’i menjadi talak ba’in sughra. Jika pihak suami ingin
kawin kembali dengan bekas istrinya dalam status talak ba’in sughra itu,
haruslah dengan aqad yang baru dan mahar yang baru pula. Tentu saja
sebelumnya telah disetujui oleh pihak istri. Proses rujuk atau proses
perkawinan kembali itu haruslah dihadiri oleh dua orang saksi laki-laki. Allah
swt berfirman:
فَإِذَا بَلَغْنَ
أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ (الطلاق:
2)
Artinya: “Apabila mereka
telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau
lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang
adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (QS.
ath-Thalaq, 65:2).
Aqad nikah adalah semacam
aqad. Karena itu pada aqad nikah berlaku pula ketentuan-ketentuan yang berlaku
pada aqad pada umumnya. Aqad nikah dilakukan oleh pihak calon istri, pihak
calon suami, dan dihadiri oleh dua orang saksi laki-laki. Pihak calon istri
mengucapkan ijab dan pihak calon suami mengucapkan qabul. Ijab
ialah pernyataan pihak istri bahwa bersedia menjadi istri dari calon suami.
Sedangkan qabul ialah kesediaan pihak calon suami menerima calon
istrinya menjadi istrinya. Hal ini berarti bahwa setelah terjadi ijab
dan qabul, pihak suami memegang buhul aqad nikah. Inilah yang dimaksud
ayat 237 surat al-Baqarah (2) dengan kalimat “alladzi biyadihi ‘uqdatun
nikah” (orang atau suami yang di tangannya tergenggam aqad nikah).
Hal ini juga berarti bahwa
suami adalah pemilik aqad nikah, sebagaimana dinyatakan dalam hadits:
لاَ نَذْرَ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ وَلاَ
عِتْقَ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ وَلاَ طَلاَقَ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ (أخرجه أبو داود و
الترمذي و صححه)
Artinya: “Tidak ada
nadzar bagi seseorang terhadap apa yang tidak dimilikinya, tidak ada (hak)
memerdekakan budak terhadap budak yang tidak dimilikinya, dan tidak ada (hak)
mentalak terhadap istri yang tidak dimiliki (suami).”(ditakhrijkan oleh Abu
Dawud dan at-Turmudzi dan dinyatakan shahih)
Sebagaimana halnya dengan
aqad nikah, maka talakpun adalah semacam aqad pula. Hanya saja bedanya ialah
aqad nikah semacam perjanjian untuk menjadi suami istri, sedangkan talak ialah
perjanjian melepas buhul aqad nikah atau mengurungkan perjanjian aqad nikah
yang telah disepakati sebelumnya.
Untuk mentalak istri atau
melepas kepemilikan terhadap istrinya, dapat dilakukan cara-cara berikut:
1.
Suami langsung menjatuhkan
talak kepada istrinya, di hadapan dua orang saksi laki-laki dan dengan
syarat-syarat dan proses tertentu yang ditentukan syara’.
2.
Dengan mewakilkan kepada
orang lain, tentu saja dengan surat kuasa yang dapat dijadikan sebagai alat
bukti jika terjadi perselisihan atau persoalan di kemudian hari. Kemudian
dilakukan seperti prosedur no. 1 di atas.
3.
Dengan surat suami yang di
antar oleh seorang yang diberi kuasa oleh pihak suami, tentu saja surat itu
adalah surat yang dapat dijadikan alat bukti. Kemudian prosedurnya seperti no.
1 di atas.
Cara-cara menjatuhkan talak
oleh suami terhadap istrinya seperti cara-cara di atas sesuai pula dengan
pendapat asy-Syafii (wafat 204 H), dengan alasan: peristiwa talak pada
hakekatnya adalah semacam peristiwa aqad pada umumnya, termasuk di dalamnya
peristiwa aqad nikah. Jika pada peristiwa aqad nikah dilakukan dengan
syarat-syarat dan rukun-rukun tertentu dan dilakukan secara resmi (‘ilaan),
tentulah peristiwa talak dilakukan demikian pula.
Dari penjelasan di atas
dapat diambil kesimpulan:
1.
Talak yang dijatuhkan suami
dengan surat, tidak dihadiri dua orang saksi, adalah talak yang tidak sah.
2.
Penghulu tidak berwenang
mengawinkan seseorang wanita dan tidak pula berwenang menjatuhkan talak.
Penghulu hanya wajib mencatat bahwa telah terjadi talak yang sah.
3.
Demikian pula halnya dengan
rujuk, harus pula dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu di
samping dihadiri dua orang saksi, juga harus rujuk dengan perbuatan suami,
dalam masa iddah.
Menurut hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 38-40, dinyatakan:
Pasal
38: Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian, b. Perceraian, c. Atau
keputusan pengadilan
Pasal 39:
(1). Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak dapat mendamaikan kedua
belah pihak.
(2). Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami
istri tidak akan dapat rukun sebagai suami istri.
(3). …
Pasal 40:
(1). Gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan.
(2). …
Mengenai tata cara perceraian diatur pada Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 Bab V Pasal 14 s.d. 36 jo
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Bab II Paragraf 1, 2, 3,
4 jo Kep. Menteri Agama No. 154 Tahun 1991, tentang Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia Bab XVI pasal 113-157.
Dari Undang-undang dan Peraturan Pemerintah di atas, dapat
diambil kesimpulan bahwa semua bentuk perceraian yang dilakukan suami istri di
Indonesia harus dilakukan di hadapan sidang pengadilan dan dengan keputusan
hakim. Kewajiban penghulu hanya mencatat peristiwa telah terjadi aqad nikah
yang sah. Penghulu tidak berwenang menikahkan orang, ia hanya mencatat
pernikahan.
Bagi Warga Negara Indonesia yang melakukan perkawinan
atau perceraian tidak sesuai dengan Undang-undang dan peraturan yang berlaku
diancam hukuman yang termuat pada Bab IX PP No. 9 Tahun 1975.
Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
peristiwa talak dan rujuk yang dilaksanakan Penghulu seperti yang dikemukakan
penanya menyalahi hukum Islam dan hukum yang
berlaku di Negara Republik Indonesia. Bahkan jika penghulu itu adalah
penghulu yang diangkat oleh Pemerintah Republik Indonesia, maka ia dapat
dikenakan sanksi hukum, sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang
berlaku. km*). (fatwa tarjih 2014).
No comments:
Post a Comment