BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Alllah SWT menciptakan semua makhluk di muka bumi ini
tentu dengan adanya tujuan. Dari mulai hewan, tumbuhan dan manusia. kemudian
dari ketiga makluk itu Allah menciptakannya beberapa sekelompok suku atau jenis yang berbeda-beda pula, keseluruhan
perbedaan inilah yang merupakan salah
satu tanda kebesaran Allah di alam. Allah SWT berfirman dalam surat
al-Hujurat:13 yang berbunyi:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ
إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, Sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Dari perbedaan tersebut manusia dituntut untuk lebih mengenal
terhadap seseorang, karena setiap orang tentu memiliki sifat dan tingkah laku
yang berbeda-beda. Dengan spirit ayat diatas penuils terinspirasi untuk memunasabahkan
ayat diatas dengan surat al-Fathir ayat 32 yang menjelaskan tentang tingkatan
keadaan manusia guna dapat membantu
seorang da’i (orang yang berdakwah) untuk memehami keadaan mad’u
(orang yang di dakwahi) ketika berdakwah yang tentu pengetahuan tersebut akan
dapat membentu dalam menyebarkan dakwah islamiyah. Maka dengan mengambil ayat
dalam surat al-Fathir ayat 32 yang merupakan pokok pembahasan tulisan dalam
makalah ini, akhirnya penulispun dapat mengambil beberapa rumusan masalah yang
akan penulis jelaskan dalam makalah ini.
Dalam surat al-fathir ayat 32 penulis akan menyebutkan beberapa
kata yang menurut kami butuh penjelasan. Yaitu: Al-Kitab: adalah al-Quran,
muqtasidun: adalah orang yang berada dalam tingkat pertengahan.
B.
RUMUSAN MASALAH
ü Bagaimana mana penafsiran strata mad’u
dalam surat fathir ayat 32?
ü Apa korelasi surat al-fatihir ayat 32
dengan methode dakwah?
C. METODE PEMBAHASAN
Dalam penulisan makalah ini penulis akan membahas dengan metode
muqaranah dari beberapa literatur kitab-kitab tafsir dan beberapa reperensi
dari buku-buku berbahasa inidonesia dengan cara memaparkan beberapa penafsiran
para mufassir dan pendapat para ulama tentang tiga bahasan pokok makalah
ini dan kemudian mengambil beberapa kesimpulan dari penulis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Metode Dakwah
Secara bahasa, perkataan
dakwah berasal dari bahasa arab دعا-يدعو yang berarti seruan, mengajak atau panggilan.[1] Sedang dakwah menurut istilah berarti
penyeruan informasi ilahiyah kepada
para hamba manusia yang merupakan bagian integral dari hidup dan kehidupan
setiap individu muslim.
Metode secara
bahasa berasal dari dua kata yaitu “meta”
(melalui) dan “hodos” (jalan, cara).
Dengan demikian bisa diartikan bahwa metode adalah cara atau jalan yang harus
dilalui untuk mencapai suatu tujuan.
Dari uraian di atas, maka Secara bebasnya, definisi dakwah adalah suatu proses
penyampaian/penyeruan informasi ilahiyah
kepada para hamba manusia yang merupakan bagian integral dari hidup dan
kehidupan setiap individu muslim.[2]
B. Pokok Pembahasan
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, tidak
pernah memaksa seseorang dalam mengajak untuk memeluk agama isam dan
mengamalkan ajarannya secara sekaligus, sebagaimana firman Allah dalam surat
al-Baqarah ayat 256 yang menjelaskan tentang tidak adanya pemaksaan dalam
beragama. Islam mengajarkan untuk berdakwah dengan al-hikmah, al-mau’idza
al-hasanah dan al-mujadalah bi-al-latu Hiya Ahsan.
Salah satu makna hikmah dalam berdakwah adalah
menempatkan manusia sesuai dengan kadar yang telah ditetapkan Allah. Di saat
terjun ke sebuah komunitas, atau melakukan kontak dengan seseorang mad’u, dai yang baik haruslah memperlajari
terlebih dahulu data riil tentang
komunitas atau pribadi yang bersangkutan. Berikut beberapa landasan normativ
tentang pola komunikasi dan interaksi dengan beragam manusia:
وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيم
“dan
di atas tiap orang-orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang maha mengetahui” (Q.S Yusuf:76).
Dari Aisyah ra. Beliau berkata:
أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي عَاصِمٍ ، ثَنَا أَبُو هِشَامٍ
، ثَنَا ابْنُ يَمَانٍ ، ثَنَا سُفْيَانُ ، عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ ،
عَنْ مَيْمُونِ بْنِ أَبِي شَبِيبٍ ، عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : أَمَرَنَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُنْزِلَ النَّاسَ
مَنَازِلَهُمْ
“Rasulullah
SAW memerintahkan kepada kami untuk menempatkan manusia sesuai dengan
kedudukannya”.
Dari landasan-landasan tadi, maka seorang da’i hendaknya
memperhatikan terlebih dahulu siapa yang akan ia dakwahi dan bagaimana keadaan mad’u
yang akan ia hadapi dalam berdakwah. Dalam hal ini ayat al-quran yang penulis akan jadikan
sebagai pembahasan adalah surat fathir ayat 32 yang menjelaskan tentang
pengelompokan manusia yang dalam hal ini kita katakana sebagai mad’u.
Surat Fathir ayat 32
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ
الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ
فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ
بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ
ذَٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
“Kemudian kitab itu kami wariskan kepada
orang-orang yang kami pilih diantara hamba-hamba kami, lalu diantara mereka ada
yang mendzalimi diri sendiri, ada yang pertenganhan dan ada pula yang lebih
dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian tu adalah karunia
Allah yang besar”.[3]
Dalam Ayat di atas Ahmad Musthafa al-Maraghi menafsirkan bahwa
Allah SWT membagi orang-orang yang mendapatkan warisan berupa al-kitab
(al-quran) dengan tiga bagian yaitu: dzalimun li an-nafsih, muqtasidun, dan
sabiqun bi al-khairat. Lalu setelah Allah SWT membaginya Allah SWT kemudian
mengatakan bahwa ketiga kelompok itu akan masuk surga yang mengalir dubawahnya
sungai-sungai,[4] sedangkan dari ayat di atas Ibnu Katsir menafsirkan bahwa dari
keseluruhan hambanya Allah SWT membuat suatu kelompok (umat) yang berpegang
teguh pada al-quran, dikatakan mereka adalah umat Muhammad SAW, kemudian dari
sana Allah SWT membagi lagi kepada tiga kelompok yaitu: dzalimun li-an-nafsih,
muqtasidun, dan sabiqun bi-al-khairat.[5]
Dari penafsiran dua mufassir
di atas maka kita bisa mengambil poinnya bahwa manusia yang dalam pembahasan
ini kita sebut sebagai mad’u ada tiga
kelompok, yaitu:
1.
Dzalimun li-an-nafsih
Pendapat yang
diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah dari Inbu Abbas mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan kelompok dzolimun li-an-nafsi adalah mereka yang
akan mendapatkan ampunan dari Allah SWT, sedangkan dalam riwayat Ibnu Juraij
dari Atha Ibnu Abbas mengatakan bahwa Dzalimun li-an-nafsih adalah
orang-orang yang akan mendapatkan safaat dari Nabi Muhammad SAW. Bahkan dari
riwayat lain Ibnu Abbas mengatakan bahwa Dzalimun
li-an-nafsih adalah orang kafir. Segolongan orang ada yang mengatakan bahwa
Dzalimun li-an-nafsih adalah merka bukan termasuk dari umat muahammad
dan tidak termasuk golongan yang mewarisi kita al-quran. Menurut yang
diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dari hadis Syubah, bahwa dzalimun li-an-nafsih adalah orang kafir
namun ia termasuk umat yang satu (islam) dan mereka akan masuk surga
sebagaimana dua golongan yang akan penulis jelaskan setekah ini, namun
tingkatan surganya berbeda.[6]
2. Muqtasidun
Kelompok ini
di tafsirkan oleh Ibnu Katsir adalah kelompok yang melaksanakan
kewajiban-kewajiban, meninggalkan sesuatu yang haram namun terkadang
meninggalkan sesuatu yang disenangi (mustahab).
Sedangkan dalam tafsir Al-Munir ditafsirkan bahwa muqtasidun adalah mereka yang melaksanakan sesuatu tang wajib,
meninggalkan yang haram tapi terkadang meninggalkan yang mustahab dan juga terkadang mengerjakan sesuatu yang dimakruhkan.
Menurut Abu
Thalhah dari Ibnu Abbas bahwa kelompok muqtasidun adalah kelompok yang mendapatkan
kemudahan ketika dihisab (dihitung amalan-amalannya ketika di dunia).
Atha meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa muqtasidun
adalah kelompok yang akan masuk surga dengan rahmat dari Allah SWT.
3. Sabiqun bi-al-Khairat
Penafsiran
Ibnu Abbas terhadap kelompok ini adalah bahwa mereka adalah orang yang
melaksanakan sesuatu yang wajib dan mustahab,
meninggalkan yang sesuatu haram dan makruh tapi mereka terkadang melaksanakan
sesuatu yang mubah, sedangkan dalam tafsir al-Munir menjelaskan bahwa kelompok
ini adalah kelompok yang melaksanakan sesuatu yang wajib dan mustahab,
meninggalkan yang haram, makruh dan terkadang meninggalkan yang mubah.
Ali
Bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang kelompok sabiqun bi-al-Kairat adalah
mereka yang akan masuk surga tanpa dihisab terlebih dahulu. Pendapat Ali Bin
Thalhah ini bayak diriwayatkan oleh para ulama salaf.
Dari ketiga
kelompok yang telah dijelaskan, maka untuk mengambil kesimpulannya penulis
mengutip hadis
حَدَّثَنا محمد
بن جعفر ، ثنا شُعبة ، عن الوليد بن العَيْزار ، أنه سمع رجلاً من ثقيف يُحَدِّثُ
، عن رجل من بني كنانة بهذا أنه قال في هذه الآية ثُمَّ
أَوْرَثْنَا الكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ
لِنَفْسِهِ ... . الآية ، قال : هؤلاء كُلّهم بمنزلة واحدة ، وكُلّهم في الجَنَّة
“sesunggyhnya
seorang laki-laki dari bani Kinanah berkata tentang ayat tsumma aurasna
al-kitaba al-ladzina isthofaina min ibadina fa min-hum dzolomun
li-an-nafsih..... ia berkata mereka semuanya masuk surga”
C. Korelasi Surat al-Fathir Ayat 32 Dengan
Pembahasan Metode Dakwah
Dalam hubungan
atau korelasi ayat 32 dari surat al-Fathir ini tentu banyak sekali,
salahsatunya adalah dalam ranah mad’u,
seorang yang ingin dakwahnya diterima dengan baik oleh mad’u tentu harus mengetahui keadaan mad’u terlebih dahulu, apakah mad’u
itu seorang muslim, mukmin atau munafiq. Jika mad’u itu seorang muslim, maka yang harus diperhatikan adalah
apakah mad’u tersebut termasuk
kelompok dzalimun li-an-nafsih,
muqtasidun atau sabiqun bi-al-khairat?.
Maka dari sini, jelaslah bahwa surat Fathir ayat 32 ini sangat berhunbungan
dengan pembahasan metode dakwah karena dalam pembahasan metode dakwah juga
terdapat pembahasan yang mendetail tentang rumpun mad’u dan perbedaan sifat atau keadaan mad’u yang akan kita hadapi ketika berdakah.
Dengan tuntunan
berdakwah dalam surat al-Fathir ini, maka seorang da’i tentunya harus lebih
dapat menyesuaikan dirinya ketika ankan menghadapi ketiga kelompok itu
PENUTUP
Kesimpulan
Setiap daerah
yang berbeda pasti terdapat perbedaan, entah itu dari aspek agama, budaya,
tinkah laku, dan sifat. Begitu pun dengan tingkat keislaman dan keimanan
manusi, pesti di dalamnya terdapat perbedaan yang tentu perbedaan ini merupakan
pelajaran bagi manusia agar saling mengenal dan saling memahami satu sama lain.
Secara umum
Allah SWT telah membagi manusia kedalam tiga kelompok, yaitu: kelompok mukmin,
kafir dan munafik, kemudian dari kelompok yang mukmin itu Allah SWT membagi
lagi menjadi tiga kelompok, yaitu: kelompok dzalimun
li-an-nafsih, yaitu kelompok yang mendzalimi diri mereka sendiri dengan
sedikitnya beramal yang wajib, muqtasidun; yaitu mereka yang
mengamalkan kewajiban dan mustahab namun terkadang melakukan yang makruh dan sabiqun bi-al-khairat adalah mereka yang
mengamalkan kewajiban-kewajiban, sunnah-sunnah dan amalan-amalan yang mubah,
namun di samping itu mereka menjauhi yang haram dan makruh.
Seorang da’i haruslah memahami kelompok-kelompok
yang telah disebut di atas, karena jika dakwah ingin diterima oleh mad’u, maka seorang da’i harus menyampaikan dakwahnya sesuai dengan kadar dan kemampuan
mad’u-nya.
Metode dakwah
meripakan salah satu dari dakwah itu sendiri, karena dalam berdakwah, Islam
menyampaikan dakwahnya dengan lembut dan menyejukkan yang menggambarkan bahwa
Islam adalah agama yang santun dan tidak ada pemaksaan.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhaili, Wahbah
bin Mushthafa az-, At-Tafsir al-Munir, (Beirut: Dar al-Fikr. Damaskus.
2005 M. 1426 M).
Maraghi, Ahmad Musthafa. Tafsir al-Maraghi. (Beirut: Dar
al-Fikr. 2006 M. 1427 H)
Ibnu Katsir. Tafsir al-quran al-Adzim. (dar al-hadits. Al-Qahirah.
2003 M. 1423 H)
H. Suparta, Munzier. Metode Dakwah. Rahmat Semesta. Jakarta. 2006