MERAIH TAQWA MELALUI INTROSPEKSI
Allah berfirman dalam surat Al-Ashr
yang berbunyi:
وَالْعَصْرِ﴿١﴾إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ﴿٢﴾إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا
بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ﴿٣﴾
Artinya: “ demi masa sesungguhnya manusia berada dalam kerugian kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati
untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran”. (Al-Ashr:1-3).
Dari ayat diatas kita
diperintahkan untuk memperhatikan sekaligus mempergunakan waktu sebaik-baiknya,
sehingga karena sangat urgennya waktu ini, Allah mengiringi lafal wau (و) qasam yang berarti wau yang menjelaskan sumpah. Artinya
bahwa Allah bersumpah demi waktu bahwa manusia sesungguhnya berada dalam
kerugian. Lalu manusia yang seperti apakah yang akan berada dalam kerugian itu?
Kalau kita kembalikan kepada firman Allah dalam lafal “innal insana lafi husr”. Maka lafal al-insan merupakan lafal yang aam (khusus), artinya bahwa semua manusia yang di bumi ini berada dalam kerugian. Akan tetapi Allah berfirman dalam ayat selanjutnya sebagai taqyid (pengikat) bagi ayat sebelumnya “illal ladzina amanu wa amilus-solihati watawa shaubil haqq wa tawa shaubis-shabr”. Maka artinya, kecuali orang—orang yang beriman, beramal shaleh, saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran sajalah yang tidak termasuk orang yang berada dalam kerugian. Maka yang harus kita pertanyakan sekarang adalah apakah kita termasuk orang-orang yang dikriteriakan seperti yang di kecualikan oleh Allah swt dalam ayat ketiga surat Al-Ashr tadi? Maka salah satu untuk mengetahuinya adalah dengan bermuhasabah atau introspeksi diri terhadap diri kita priba. Sudah berapa banyak amalan-amalan shaleh yang telah kita kerjakan? Sudah berapa banyak shadaqah yang kita berikan? Sudah berapa banyak orang-orang miskin dan anak-anak yatim yang telah kita santuni? Dan yang paling penting kita perhatikan juga adalah sudah ikhlaskah dan sesuaikah kita dalam mengerjakan amalan-amalan tersebut sesuai dengan yang di ajarkan oleh baginda Nabi Muhammad saw? Inilah yang harus kita perhatikan dan pertanyakan kepada diri kita dalam bermuhasabah, guna meraih ketaqwaan kepada Allah swt.
Kalau kita kembalikan kepada firman Allah dalam lafal “innal insana lafi husr”. Maka lafal al-insan merupakan lafal yang aam (khusus), artinya bahwa semua manusia yang di bumi ini berada dalam kerugian. Akan tetapi Allah berfirman dalam ayat selanjutnya sebagai taqyid (pengikat) bagi ayat sebelumnya “illal ladzina amanu wa amilus-solihati watawa shaubil haqq wa tawa shaubis-shabr”. Maka artinya, kecuali orang—orang yang beriman, beramal shaleh, saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran sajalah yang tidak termasuk orang yang berada dalam kerugian. Maka yang harus kita pertanyakan sekarang adalah apakah kita termasuk orang-orang yang dikriteriakan seperti yang di kecualikan oleh Allah swt dalam ayat ketiga surat Al-Ashr tadi? Maka salah satu untuk mengetahuinya adalah dengan bermuhasabah atau introspeksi diri terhadap diri kita priba. Sudah berapa banyak amalan-amalan shaleh yang telah kita kerjakan? Sudah berapa banyak shadaqah yang kita berikan? Sudah berapa banyak orang-orang miskin dan anak-anak yatim yang telah kita santuni? Dan yang paling penting kita perhatikan juga adalah sudah ikhlaskah dan sesuaikah kita dalam mengerjakan amalan-amalan tersebut sesuai dengan yang di ajarkan oleh baginda Nabi Muhammad saw? Inilah yang harus kita perhatikan dan pertanyakan kepada diri kita dalam bermuhasabah, guna meraih ketaqwaan kepada Allah swt.
Allah swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا
اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ
وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ﴿١٨﴾
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa
yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
(Al-Hasyr:18).
Ayat ini memerintahkan
kepada kita selaku orang yang beriman, untuk
bertaqwa kepada Allah swt, yang dimaksud dengan taqwa adalah menjalankan
perintah Allah dan menjauhi larangan-larangannya. Dan dalam ayat ini juga Allah
memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk
memperhatikan masa yang telah lampau guna mempersiapkan hari yang akan datang
atau hari kiamat. maka untuk mempersiapkan diri kita dalam menghadapi akhirat
ini kita harus banyak-banyak melakukan introfeksi diri dengan melihat kepada keadaan
ibadah, kelakuan, sikap dan sifat yang telah kita lakukan sebelumnya agar kita
dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita. Apabila di masa yang telah
lampau tahun 2012 kemarin cintohnya, kita hanya melakuakan shalat fardhu lima
waktu saja, maka di tahun 2013 ini kita harus menjalankan salat-salat sunnah qobliyyah
ataupun ba’diyyah dan salat-salat sunnah lainnya yang dicontohkan oleh
rasulullah SWA juga, apabila di tahun kemarin kita sudah melakukan salat-salat
fardu beserta salat-salat sunnah qabliyyah atau ba’diyyah-nya, maka ditahun
2013 ini kita jalankan dan biasakan salat lail (tahajud), jika tahun kemarin
kita masih belum mampu melakukan puasa sunnah seperti puasa hari senin dan
kamis atau puasa Nabi Daud selang seling, Maka di tahun sekarang ini kita harus
berusaha untuk dapat mengerjakan puasa-puasa sunnah tersebut. Dan begitu seterusnya
sehingga dengan bermuhasabah berintrofeksi diri ini keimanan dan ketaqwaan kita
akan terus bertambah.
Amirul mukminin Umar bin Khatab
pernah berkata:
وَيُرْوَى عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ
قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الْأَكْبَرِ وَإِنَّمَا يَخِفُّ
الْحِسَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى مَنْ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِي الدُّنْيَا
Artinya: diriwayatkan dari Umar bin
al-Khathab, ia berkata:“hisablah dirimu
sebelum kau di hisab dan berhiaslah untuk persaksian akbar. Sesungguhnya hisab
pada hari kiamat itu ringan bagi orang yang menghisab dirinya di dunia”.
وَيُرْوَى عَنْ مَيْمُونِ بْنِ مِهْرَانَ قَالَ لَا يَكُونُ الْعَبْدُ
تَقِيًّا حَتَّى يُحَاسِبَ نَفْسَهُ كَمَا يُحَاسِبُ شَرِيكَهُ مِنْ أَيْنَ
مَطْعَمُهُ وَمَلْبَسُهُ
Artinya: “diriwayatkan dari Maimun bin Mihran, ia berkata: seorang hamba tidak
akan menjadi bertaqwa sampai ia menghisab dirinya seperti ia menghisab temannya
(dengan memperhatikan) dari mana ia mendapatkan makanan dan pakaiannya”.
Dari perkataan Umar bin
Khatab ini, maka hendaknya kita menghisab, muhasabah atau introspeksi diri kita
sebelum kita dihisab oleh Allah swt pada hari yang besar yaitu hari kiamat. maka
jelas bahwa dengan bermuhasabah atau introspeksi diri inilah kita dapat
mengetahui kadar keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah swt dan juga kita
dapat mengetahui kekurangan-kekurangan yang harus kita perbaiki dan tingkatkan
di hari esok sebagai persiapan kita dalam menghadapi yaumul hisab atau hari
kiamat nanti.