Saturday 11 January 2014

MABRUR ITU MEMBERI MAKAN



MABRUR ITU MEMBERI MAKAN
Oleh: Rakhmad Zailani Kiki
Di dalam kamus besar kamus bahasa indonesia, kata mabrur memiliki dua arti, yaitu: pertama, diterima oleh Allah SWT; dan kedua, baik. Kata mabrur sendiri merupakan kata serapan dari bahasa Arab, akar katanya barra-yaburru-barran atau birran yang artinya taat berbakti. Dalam  kitab lisan al-Arab, mabrur dapat berarti baik, suci, dan bersih; juga berarti makbul atau diterima.
Jika kata mabrur diambil dari akar kata birran atau al-birru, maka menurut kamus al-munawir dapat diartikan sebagai taat berbakti, bersikap baik-sopan, benar atau tidak berdusta, benar untuk dilaksanakan sesuai dengan sumpahnya, menerima, diterima, banyak berbuat kebajikan. Menurut al-Fairuzi bahwa al-birru dapat juga berarti hubungan, berupaya dalam kebaikan.
Menurut budiharjo bahwa kata al-birru sepadan dengan kata al-hasan, al-khair, al-shalih, al-thayyib, dan al-ma’ruf. Dan kata al-birru berarti “baik” jika dihunbungkan dengan orang tua, “mabrur” bila dihunbungkan dengan haji, “benar” jika dihubungkan dengan janji, “laris” bila dihunbungkan dengan dagang, “terhindar syubhat, dusta, dan khianat” bila dihubungkan dengan jual beli, “memperbanyak ketaatan” bila dihubungkan dengan Tuhan. Dan “memperbanyak berbuat baik” jika dihubungkan dengan orang tua.
Sedangkan dalam surat al-Baqarah ayat 177 al-birru itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, melainkan sesunggunya al-birru itu beriman kepada Allah SWT, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat-kerabat dan seterusnya.
Jika mabrur itu berakar dari kata al-birru yang memilik arti kebaikan dan kebaikan itu bukan menurut mansia, tetapi menurut Allah SWT sesuai firmannya di surat al-Baqarah ayat 177, maka haji mabrurur bukanlah haji yang diterima oleh Allah SWT karena pelakunya telah melakukan ritual haji dengan baik sesuai syarat dan rukunnya, bukan pula hanya dalam iman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab dan para nabi, bukan juga senantiasa melaksanakan salat, membayar zakat, melainkan si pelaku telah dan selalu melakukan perbuatan social di atas rata-rata kebanyakan orang.
Bentuk-bentuk perbuatan sosial dalam ayat tersebut di atas, selain zakat, tidak harus semuanya dilakukan serentak dalam satu waktu, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kesempatan, khususnya bagi seseorang yang telah mendapatkan predikat haji mabrur. Seperti bunyi hadis dari jabir ra yang diriwayatkan oleh Ahmad, Rasulullah SAW bersabda: “haji yang mabruru tidak ada pahala yang layak kecuali surga. Sahabat bertanya, wahai abi Allah, apakah haji mabruru itu? Rasulullah SAW menjawab, memberi makan dan menebarkan salam.”
Mafhum mukhalafah atau pemahaman terbalik dari hadis di atas adalah orang yang haji tidak mendapat pedikat haji mabrur jika ia tidak memberi makan orang yang membutuhkan atau kelaparan dan tidak memberikan salam. Dengan kata lain, haji mabrur itu ditentukan bukan hanya dengan ritual ibadah haji yang telah dilaksanakan seseorang sesuai syarat dan rukunnya., tetapi oleh perbuatan sosialnya, yaitu memberi makan orang miskin dan meneberkan salam.
Khusus perbutan memberi makan, ini seperti kisah Abu Abdurrahman Abdullah bin al-Mubarak al-Hanzhali al-Marwazi, seorang ahli hadis yang terkemuka. Ia sangat ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, antara lain, di dalam bidang gramatika dan kesusastraan. Ia adalah seorang saudagar kaya yang banyak memberikan bantuan kepada orang-orang miskin.
Ia meninggal dunia di kota Hit yang terletak di tepi sungai Euphrat pada 181 H/797 M. Ia mendapat petunjuk dari Allah swt seorang, yaitu Ali bin Muaffaq, penjual sepatu di Damskus, yang mendapatkan gelar haji mabrur pada satu musim haji yang tidak ada mendapatkannya selain dirinya padahal dia tidak pergi haji karena uang untuk berangkat haji ia dermakan kepada tetangganya untuk makan.
Maka, memberi makan dari harta yang dicintai merupakan bentuk al-birru, salah satu bentuk nyata atau indikator yang terlihat dari kemabruruan haji seseorang. Jadi, tidal susah kita menilai apakah haji seseorang atau haji kita ini mabrur atau tidak, cukup dilihat dari amalan-amalan sosialnya, salah satunya adalah memberi makan.
Amal member makan sepertinya amalan yang sepele, tetapi itu merupakan amalan para nabi da rasul. Nabi Ibrahim AS yang bergelar khalilullah, kekasih Allah, selalu memanggil orang lain untuk ikut makan bersamanya setiap akan makan.
Sunnah rasul saw yang terakhir dikerjakan oleh Abu bakar as-Shiddiq ra adalah memberi makan orang tua yahudi yang buta matanya dari kunyahan mulut Abu Bakar ra sendiri persis seperti yang dilakukan oleh rasulullah semasa hidup atau setelah wafat. Maka wajar jika syek abdul qadir al-jailani berkata, aku telah meneliti semua amalan saleh dan tidak ada yang melebihi keutamaan amal memberi makan.
Akhir kalam, saat ini di suriah, ulama disana telah memberi fatwa bahwa kaum muslimin dan muslimat disuriah boleh memakan daging kucing dan anjing karena tengan silansa kelaparan yang hebat dan makanan amat sangat sulit didapat, juga kelaparan di Somalia dan tempat-tempat lainnya, sementara jutaan jamaah hajikebanyakan pulang ke tanah airnya msing-masing membawa air zam-zam dan makanan khas timur tengah berkilo-kilo beratnya.
 Jadi, belum terlambat bila para jamaah haji ingin mendapat gelar haji mabrur tahun ini, sesampainya di tanah air segera kirim makanan kepada mereka yang membutuhkan di suriah, Somalia dan tempat-tempat lainnya, mungkin ada pula tetangganya yang kelaparan, insya Allah hajinya mabruru. aminn

...
Powered by Blogger.