MABRUR ITU MEMBERI MAKAN
Oleh: Rakhmad Zailani Kiki
Di dalam kamus besar kamus bahasa indonesia, kata mabrur memiliki
dua arti, yaitu: pertama, diterima oleh Allah SWT; dan kedua, baik. Kata mabrur
sendiri merupakan kata serapan dari bahasa Arab, akar katanya
barra-yaburru-barran atau birran yang artinya taat berbakti. Dalam kitab lisan al-Arab, mabrur dapat berarti
baik, suci, dan bersih; juga berarti makbul atau diterima.
Jika kata mabrur diambil dari akar kata birran atau al-birru, maka
menurut kamus al-munawir dapat diartikan sebagai taat berbakti, bersikap
baik-sopan, benar atau tidak berdusta, benar untuk dilaksanakan sesuai dengan
sumpahnya, menerima, diterima, banyak berbuat kebajikan. Menurut al-Fairuzi
bahwa al-birru dapat juga berarti hubungan, berupaya dalam kebaikan.
Menurut budiharjo bahwa kata al-birru sepadan dengan kata al-hasan,
al-khair, al-shalih, al-thayyib, dan al-ma’ruf. Dan kata al-birru berarti
“baik” jika dihunbungkan dengan orang tua, “mabrur” bila dihunbungkan dengan
haji, “benar” jika dihubungkan dengan janji, “laris” bila dihunbungkan dengan
dagang, “terhindar syubhat, dusta, dan khianat” bila dihubungkan dengan jual
beli, “memperbanyak ketaatan” bila dihubungkan dengan Tuhan. Dan “memperbanyak
berbuat baik” jika dihubungkan dengan orang tua.
Sedangkan dalam surat al-Baqarah ayat 177 al-birru itu bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, melainkan sesunggunya al-birru
itu beriman kepada Allah SWT, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat-kerabat dan
seterusnya.
Jika mabrur itu berakar dari kata al-birru yang memilik arti
kebaikan dan kebaikan itu bukan menurut mansia, tetapi menurut Allah SWT sesuai
firmannya di surat al-Baqarah ayat 177, maka haji mabrurur bukanlah haji yang
diterima oleh Allah SWT karena pelakunya telah melakukan ritual haji dengan
baik sesuai syarat dan rukunnya, bukan pula hanya dalam iman kepada Allah, hari
kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab dan para nabi, bukan juga senantiasa
melaksanakan salat, membayar zakat, melainkan si pelaku telah dan selalu
melakukan perbuatan social di atas rata-rata kebanyakan orang.
Bentuk-bentuk perbuatan sosial dalam ayat tersebut di atas, selain
zakat, tidak harus semuanya dilakukan serentak dalam satu waktu, tetapi sesuai
dengan kemampuan dan kesempatan, khususnya bagi seseorang yang telah
mendapatkan predikat haji mabrur. Seperti bunyi hadis dari jabir ra yang
diriwayatkan oleh Ahmad, Rasulullah SAW bersabda: “haji yang mabruru tidak ada
pahala yang layak kecuali surga. Sahabat bertanya, wahai abi Allah, apakah haji
mabruru itu? Rasulullah SAW menjawab, memberi makan dan menebarkan salam.”
Mafhum mukhalafah atau
pemahaman terbalik dari hadis di atas adalah orang yang haji tidak mendapat
pedikat haji mabrur jika ia tidak memberi makan orang yang membutuhkan atau
kelaparan dan tidak memberikan salam. Dengan kata lain, haji mabrur itu
ditentukan bukan hanya dengan ritual ibadah haji yang telah dilaksanakan
seseorang sesuai syarat dan rukunnya., tetapi oleh perbuatan sosialnya, yaitu
memberi makan orang miskin dan meneberkan salam.
Khusus perbutan memberi makan, ini seperti kisah Abu Abdurrahman
Abdullah bin al-Mubarak al-Hanzhali al-Marwazi, seorang ahli hadis yang
terkemuka. Ia sangat ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, antara lain,
di dalam bidang gramatika dan kesusastraan. Ia adalah seorang saudagar kaya
yang banyak memberikan bantuan kepada orang-orang miskin.
Ia meninggal dunia di kota Hit yang terletak di tepi sungai Euphrat
pada 181 H/797 M. Ia mendapat petunjuk dari Allah swt seorang, yaitu Ali bin
Muaffaq, penjual sepatu di Damskus, yang mendapatkan gelar haji mabrur pada
satu musim haji yang tidak ada mendapatkannya selain dirinya padahal dia tidak
pergi haji karena uang untuk berangkat haji ia dermakan kepada tetangganya
untuk makan.
Maka, memberi makan dari harta yang dicintai merupakan bentuk
al-birru, salah satu bentuk nyata atau indikator yang terlihat dari kemabruruan
haji seseorang. Jadi, tidal susah kita menilai apakah haji seseorang atau haji
kita ini mabrur atau tidak, cukup dilihat dari amalan-amalan sosialnya, salah
satunya adalah memberi makan.
Amal member makan sepertinya amalan yang sepele, tetapi itu
merupakan amalan para nabi da rasul. Nabi Ibrahim AS yang bergelar khalilullah,
kekasih Allah, selalu memanggil orang lain untuk ikut makan bersamanya setiap
akan makan.
Sunnah rasul saw yang terakhir dikerjakan oleh Abu bakar as-Shiddiq
ra adalah memberi makan orang tua yahudi yang buta matanya dari kunyahan mulut
Abu Bakar ra sendiri persis seperti yang dilakukan oleh rasulullah semasa hidup
atau setelah wafat. Maka wajar jika syek abdul qadir al-jailani berkata, aku
telah meneliti semua amalan saleh dan tidak ada yang melebihi keutamaan amal
memberi makan.
Akhir kalam, saat ini di suriah, ulama disana telah memberi fatwa
bahwa kaum muslimin dan muslimat disuriah boleh memakan daging kucing dan
anjing karena tengan silansa kelaparan yang hebat dan makanan amat sangat sulit
didapat, juga kelaparan di Somalia dan tempat-tempat lainnya, sementara jutaan
jamaah hajikebanyakan pulang ke tanah airnya msing-masing membawa air zam-zam
dan makanan khas timur tengah berkilo-kilo beratnya.
Jadi, belum terlambat bila
para jamaah haji ingin mendapat gelar haji mabrur tahun ini, sesampainya di
tanah air segera kirim makanan kepada mereka yang membutuhkan di suriah,
Somalia dan tempat-tempat lainnya, mungkin ada pula tetangganya yang kelaparan,
insya Allah hajinya mabruru. aminn