Sebelum pembahasan kita harus terlebih dahulu mengetahui tentang bid'ah, apa itu bid'ah?..
Bid’ah
ialah sesuatu perbuatan atau perkataan yang dipandang sebagai ‘umurut-
ta’abbudiy yang baru dan tidak pernah diperintahkan dan dicontohkan oleh
Nabi Muhammad saw semasa hidupnya. Dengan kata lain bahwa bid’ah adalah
perbuatan yang ada konotasinya dengan ‘umurut-ta’abbudiy, tidak ada
konotasinya dengan ‘umuru ghairut ta’abbudiy. Semua ‘umurut-ta’abbudiy
di dasarkan kepada nash-nash yang shahih dan maqbul, dijelaskan
macam-macamnya dan cara-cara mengerjakannya. Seperti ibadah shalat, zakat,
puasa, haji, dan sebagainya. Sebagai contoh adalah sabda Nabi Muhammad saw:
عَنْ
مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي (رواه البخاري)
Artinya: “Dari
Malik bin Huwairits (diriwayatkan bahwa) Nabi Muhammad saw bersabda: Shalatlah
kamu sebagaimana engkau melihatku shalat.” (HR. al-Bukhari)
Berdasarkan
perintah itu, kita pelajari dan cari pada nash-nash yang shahih dan maqbul
bagaimana tata-cara mengerjakan shalat, waktu-waktunya, apa yang dibaca pada
setiap gerakannya, macam-macamnya baik yang wajib maupun yang sunat, dan
sebagainya.
Demikian
pula halnya dengan ibadah puasa, zakat, haji, dan sebagainya, kita wajib
mengikuti tata-caranya, waktu-waktunya, dan aturan-aturan yang lainnya,
sebagaimana yang telah dituntunkan oleh Nabi Muhammad saw.
Bagi
orang yang menetapkan cara-cara melakukan, waktu-waktu mengerjakan,
bacaan-bacaan yang dibaca dalam mengerjakan ‘umurut-ta’abbudiy, seperti
shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya, dan mengatakan bahwa itu adalah
perintah Allah dan Rasul-Nya, padahal tidak ada dasarnya atau dasarnya
diragukan kebenarannya, berarti ia telah berdusta terhadap Nabi Muhammad saw
dan kaum muslimin. Orang-orang yang mengada-adakan sesuatu tentang Nabi saw
padahal tidak ada dasarnya berarti ia telah menyediakan tempat duduknya di
neraka nanti. Hal ini berdasarkan pada hadits:
عَنْ
عَلِيٍّ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَكْذِبُوا
عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَلِجِ النَّارَ (متفق عليه)
Artinya: “Dari
Ali r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Nabi Muhammad saw bersabda: jangan
kamu berdusta atas (nama)ku, barangsiapa yang berdusta atas nama(ku), tentulah
ia masuk ke dalam neraka.” (Muttafaq Alaih)
Dan
hadits:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ
كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (متفق
عليه)
Artinya: “Dari
Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata, dari Nabi saw beliau
bersabda: Barangsiapa yang mengada-adakan kedustaan atasku, maka berarti telah
menyediakan tempat duduknya dalam neraka.” (Muttafaq Alaih)
Yang
dimaksud dengan kalimat man kadzdzaba ‘alaiyya ialah seseorang yang
mengatakan sesuatu adalah ‘umurut-ta’abbudiy dan berasal atau
berdasarkan perkataan, perbuatan, atau taqrir Nabi saw, padahal yang sebenarnya
Rasulullah saw tidak pernah mengatakan, melakukan, atau tidak ada taqrir
beliau. Urusan seperti ini adalah semacam bid’ah dan diancam oleh
Rasulullah saw dengan adzab neraka, karena mereka telah berdusta kepada Allah
dan Rasul-Nya serta kaum muslimin. Akan lebih besar lagi dosanya, jika
kedustaan mereka diamalkan oleh kaum muslimin yang tidak tahu sama sekali
tentang hal tersebut.
Adapun
mengenai ‘umuru ghairut-ta’abbudiy, boleh dilakukan sekalipun Nabi saw
tidak pernah mengerjakannya, dengan syarat tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip ajaran Islam.
Sehubungan
dengan hal kegiatan Isra’ dan Mi’raj, ialah termasuk kegiatan yang dilakukan
umat Islam setelah Rasulullah saw meninggal dunia, dengan arti bahwa pada zaman
Rasulullah saw belum ada kegiatan tersebut. Peringatan itu dilakukan oleh kaum
muslimin, di samping untuk mensyiarkan agama Islam juga untuk memperingati
turunnya kepada Rasulullah perintah melakukan shalat wajib lima waktu. Dengan
peringatan itu diharapkan dapat memperkuat tekad umat Islam untuk tetap
mengerjakan shalat lima waktu dengan sebaik-baiknya. Kegiatan ini termasuk ‘umuru
ghairut-ta’abbudiy, bukan ibadah yang langsung ditujukan kepada Allah SWT,
karena itu boleh dilakukan. Bahkan dipandang sebagai sebagai suatu ibadah
kepada Allah SWT, jika kegiatan itu menambah syiar agama Islam dan tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip agama Islam.
2.
Kami belum menemukan nash-nash
yang shahih dan maqbul yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan
hukum tentang membaca Yasin bersama-sama yang diadakan pada malam Jum’at,
demikian pula dasar bahwa hal itu pernah diperintahkan Allah atau pernah
diperintahkan Rasulullah mengerjakannya atau beliau sendiri pernah
mengerjakannya. Juga belum ditemukan dasar bahwa di antara sahabat sendiri
pernah melakukannya dan Rasulullah mengetahui perbuatan sahabat itu. Yang ada
ialah perintah Allah SWT agar kaum muslimin membaca al-Qur’an dan bagi yang
mendengarkan bacaan itu diperintahkan Allah SWT agar mendengarkan bacaan itu
dengan baik dan berdiam diri. Tidak ditentukan surat dan ayat yang lebih baik
dibaca, kapan harus dibaca, dan tidak ditentukan pula hari dan jamnya. Allah
SWT berfirman:
وَإِذَا قُرِئَ
الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
(الأعراف:204)
Artinya: “Dan apabila dibacakan al-Qur'an,
maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat
rahmat.” (QS. al-A’raf, 7: 204)
Pada ayat yang lain Allah SWT menerangkan
cara membaca al-Qur’an dan kapan saat-saat yang terbaik membacanya. Allah SWT
berfirman:
يَا
أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ. قُمِ اللَّيْلَ إِلاَّ قَلِيلاً. نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ
مِنْهُ قَلِيلاً. أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلاً. إِنَّا
سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلاً ثَقِيلاً. إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ
وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلاً. إِنَّ لَكَ فِي النَّهَارِ سَبْحًا طَوِيلاً
(المزمل:1-7)
Artinya: “Hai
orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari,
kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari
seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur'an itu
dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan
yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk)
dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari
mempunyai urusan yang panjang (banyak).” (QS. al-Muzzammil, 73: 1-7)
Dari ayat
di atas, dapat difahami beberapa hal sebagai berikut:
a.
Membaca al-Qur’an yang
paling baik itu setelah lewat tengah malam, karena pada waktu itu keadaan telah
sepi, orang sedang tidur nyenyak, sehingga dapat membacanya dengan khusyu’.
Ayat-ayat di atas tidak menentukan ayat mana yang paling baik dibaca.
b.
Hendaklah membaca al-Qur’an dengan tartil, maksudnya ialah
membaca dengan perlahan-lahan, diusahakan dengan bacaan lafadz yang
benar dan fasih sesuai dengan kemampuan si pembaca, diresapkan arti
ayat-ayat yang dibaca, dan berjanji akan melaksanakan yang diperintah dan
menghentikan yang dilarang oleh ayat-ayat tersebut. Tentu saja hal ini
dilakukan sesuai dengan kemampuan dan tingkat pengetahuan si pembaca. Dalam
pada itu si pembaca pun harus berusaha meningkatkan kemampuan membaca dan memahami
bacaannya. Dari kata tartil ini juga dapat difahami bahwa tidak baik
membaca al-Qur’an dengan cepat asal cepat tamat (khatam) tanpa ada usaha
untuk memahami isinya. Hal ini dapat juga difahami dari hadits berikut:
عَنْ أَبِي وَائِلٍ
قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ مَسْعُودٍ فَقَالَ قَرَأْتُ الْمُفَصَّلَ
اللَّيْلَةَ فِي رَكْعَةٍ فَقَالَ هَذَا كَهَذَا الشِّعْرِ لَقَدْ عَرَفْتُ
النَّظَائِرَ الَّتِي كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرُنُ
بَيْنَهُنَّ فَذَكَرَ عِشْرِينَ سُورَةً مِنَ الْمُفَصَّلِ سُورَتَيْنِ فِي كُلِّ
رَكْعَةٍ (متفق
عليه)
Artinya: “Dari Abu Wa’il (diriwayatkan
bahwa) ia berkata: Seseorang telah datang kepada ibnu Mas’ud lalu berkata: Tadi malam aku telah membaca surat-surat
pendek (al-mufashshal) dalam satu rakaat. Ibnu Mas’ud berkata: (Bacaan) ini
(cepat) seolah-olah (membaca al-Qur’an) adalah membaca sya’ir? Sesungguhnya aku
telah mengetahui padanan ayat yang biasa dibaca oleh Nabi saw, lalu menyebut
dua puluh surat yang termasuk surat al-mufashshal, tiap rakaat (dibaca) dua
surat.” (Muttafaq Alaih)
c.
Membaca al-Qur’an hendaklah dengan penuh perhatian dan memikirkan
maksud ayat yang dibaca, tidak asal baca. Allah SWT berfirman:
أَفَلاَ
يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ (النساء:82)
Artinya : “Maka apakah mereka tidak
mentadabburkan (memperhatikan) Al Qur'an?” (QS. an-Nisa’, 4: 82)
Tadabbur berarti membaca dengan penuh perhatian, menggali isi ayat yang dibaca
serta melaksanakan apa yang dibaca. Tadabbur dapat dilakukan sendirian
atau bersama dalam suatu diskusi, seminar, dan sebagainya. Dari ayat di atas
juga dapat difahami adanya ancaman dan peringatan keras kepada orang yang tidak
mentadabburkan al-Qur’an. Pada hadits lain dinyatakan:
عَنْ
أَبِي مُوسَى عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَعَاهَدُوا
الْقُرْآنَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ تَفَصِّيًا مِنَ
اْلإِبِلِ فِي عُقُلِهَا (متفق عليه)
Artinya: “Dari Abu Musa r.a., dari Nabi
saw (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: Pelajari dan hafalkanlah al-Qur’an
dengan tekun. Demi Allah yang jiwaku berada dalam kekuasaannya, al-Qur’an itu
lebih cepat lepasnya (dari seseorang) dibanding dengan cepatnya lepas unta dari
tali pengikatnya.” (Muttafaq Alaih)
Hadits di atas memperingatkan kepada kaum
muslimin agar selalu mempelajari dan mengamalkan ajaran al-Qur’an, karena kalau
tidak diamalkan seseorang akan mudah lupa terhadap ajaran tersebut.
Dari
keterangan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa membaca surat Yasin
bersama-sama pada malam Jum’at bukan sunnah Rasulullah saw dan tidak ditemukan nash-nash
yang shahih dan maqbul yang dapat dijadikan dasar untuk
menetapkan hukumnya. Yang ada dasar hukumnya ialah perintah membaca al-Qur’an
dengan tartil, mentadabburkan al-Qur’an, baik sekali membaca al-Qur’an
lewat tengah malam. Bila tidak demikian, maka al-Qur’an itu mudah hilang dalam
ingatan orang yang kurang memperhatikan ajarannya. *km) (Fatwa Tarjih tahun 2004)