Pertanyaan:
Jika yang
dimaksudkan tahlil adalah membaca “La Ilaha illa Allah” (tiada Tuhan selain
Allah), kami tidak melarang, bahkan menganjurkan agar memperbanyak
membacanya, berapa kali saja, untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam
al-Qur`an disebutkan:
فَاذْكُرُونِي
أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ تَكْفُرُونِ [البقرة (2):152]
Artinya:
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku.”
[al-Baqarah (2):152]
Disebutkan pula pada ayat-ayat lain seperti QS. al-Ahzab (33):
41, QS. al-An’am (6): 19, QS. al-Ikhlas (112): 1-4, QS. Muhammad (47): 19.
Perintah berzikir dengan menyebut Lafal Jalalah (La Ilaha
illa Allah) dalam hadits-hadits pun banyak diungkapkan, misalnya hadits riwayat
Abu Hurairah:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: مَنْ
قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ
الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ كَانَتْ
لَهُ عَدْلَ عَشَرَ رِقَابٍ وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَمُحِيَتْ عَنْهُ
مِائَةُ سَيِّئَةٍ وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنَ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذَلِكَ
حَتَّى يُمْسِيَ وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ أَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلاَّ أَحَدٌ
عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ وَمَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ فِي
يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ وَلَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْحَرِّ.
(رواه مسلم، كتاب الذكر، باب فضل التهليل، نمرة: 28/2691)
Artinya:
Diriwayatkan dari Abi Hurairah; Bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa
mengucapkan ‘La ilaha illa Allah wahdahu la syarika lahu lahul-mulku wa
lahul-hamdu wa huwa ‘ala kulli syai`in qadir’, dalam satu hari sebanyak
seratus kali, maka (lafal jalalah tersebut) baginya sama dengan memerdekakan
sepuluh hamba sahaya, dan dicatat baginya seratus kebaikan, dan dihapus
daripadanya seratus kejahatan, dan lafal jalalah tersebut baginya menjadi
perisai dari syaitan selama satu hari hingga waktu petang; dan tidak ada
seorang pun yang datang (dengan membawa) yang lebih afdal, daripada apa yang ia
bawa (ucapkan), kecuali orang yang mengerjakan lebih banyak dari itu. Dan
barangsiapa mengucapkan ‘subhana-llah wa bi hamdih’ (Allah Maha Suci dan
Maha Terpuji) dalam satu hari sebanyak seratus kali, maka dihapus
kesalahan-kesalahannya, sekalipun seperti buih air panas yang mendidih.” [Diriwayatkan
oleh Muslim, Kitab az-Zikr, Bab Fadlut-Tahlil, No. 28/2691]
Disebutkan pula pada hadits-hadits lain seperti hadits
riwayat al-Bukhari dari ‘Itban ibn Malik, dalam Shahih al-Bukhari, Kitab
as-Shalah (420), Bab al-Masajid fi al-Buyut dan hadits
riwayat Muslim dari Abu Hurairah, dalam Shahih Muslim, Kitab az-Zikr,
Bab Fadlut-Tahlil, No. 32/2695.
Ayat-ayat al-Qur`an dan hadits-hadits tersebut memberikan
pengertian bahwa memperbanyak membaca tahlil adalah termasuk amal ibadah yang
sangat baik, sehingga mereka yang memperbanyak tahlil dijamin masuk surga dan
haram masuk neraka. Tentu saja tidaklah cukup hanya mengucapkannya, atau
melafalkannya saja, melainkan harus menghadirkan hati ketika membacanya, dan
merealisasikannya dalam kehidupan keseharian. Yaitu dengan memperbanyak amal shalih dan meninggalkan segala macam syirik.
Jika masih berbuat syirik, dan tidak beramal shalih, sekalipun membaca tahlil
ribuan kali, tidak ada manfaatnya. Maka yang sangat penting sebenarnya ialah
bahwa tahlil itu harus benar-benar diyakini dan diamalkan dengan berbuat amal
shalih sebanyak-banyaknya.
Maka yang
dilarang menurut Muhammadiyah adalah upacaranya yang dikaitkan dengan tujuh
hari kematian, atau empat puluh hari atau seratus hari dan sebagainya.
Selamatan tiga
hari, lima hari, tujuh hari, dan seterusnya itu adalah sisa-sisa pengaruh
budaya animisme, dinamisme, serta peninggalan ajaran Hindu yang sudah begitu
berakar dalam masyarakat kita. Karena hal itu ada hubungan dengan ibadah, maka
kita harus kembali kepada tuntunan Islam. Apalagi, upacara semacam itu harus
mengeluarkan biaya besar, yang kadang-kadang harus pinjam kepada tetangga atau
saudaranya, sehingga terkesan tabzir (berbuat mubazir). Seharusnya,
ketika ada orang yang meninggal dunia, kita harus bertakziyah/melayat dan
mendatangi keluarga yang terkena musibah kematian sambil membawa
bantuan/makanan seperlunya sebagai wujud bela sungkawa. Pada waktu Ja'far bin
Abi Thalib syahid dalam medan perang, Nabi saw menyuruh kepada para
shahabat untuk menyiapkan makanan bagi keluarga Ja'far, bukan datang ke rumah
keluarga Ja'far untuk makan dan minum.
Perlu diketahui
pula, bahwa setelah kematian seseorang, tidak ada tuntunan dari Rasulullah saw
untuk menyelenggarakan upacara atau hajatan. Yang ada adalah tuntunan untuk memberi tanda pada
kubur agar diketahui siapa yang berkubur di tempat itu (HR. Abu Dawud dari
Muthallib bin Abdullah, Sunan Abi Dawud, Bab Fi Jam'i al-Mauta fi Qabr ...,
Juz 9, hlm. 22), mendoakan atau memohonkan ampun kepada Allah SWT (HR. Abu
Dawud dari 'Utsman ibn 'Affan dan dinyatakan shahih oleh al-Hakim, Sunan Abi
Dawud, Bab al-Istighfar 'inda al-Qabr lil-Mayyit ..., Juz 9, hlm. 41)
dan dibolehkan ziarah kubur (HR. Muslim dari Buraidah ibn al-Khusaib al-Aslami,
Bab Bayan Ma Kana min an-Nahyi ..., Juz 13, hlm. 113).
Berdasarkan
keterangan di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan:
1.
Sebagai warga Muhammadiyah sikap yang harus
diambil adalah menjauhi atau meninggalkan perbuatan yang memang tidak pernah
dituntunkan oleh Rasulullah saw dan sekaligus memberikan nasehat dengan cara yang
ma'ruf (mauidlah hasanah) jika masih ada di antara keluarga besar
Muhammadiyah pada khususnya dan umat Islam pada umumnya yang masih menjalankan
praktek-praktek yang tidak dituntunkan oleh Rasulullah saw tersebut.
2.
Dalam menjaga hubungan bermasyarakat, menurut
hemat kami tidaklah tepat jika tolok ukurnya hanya kehadiran pada upacara/hajatan
kematian. Namun, kegiatan-kegiatan kemasyarakatan lain, seperti rapat RT, kerja
bakti, ronda malam (siskamling), takziyah dan lain-lain juga perlu mendapat
perhatian. Dengan aktif mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut, insya Allah,
ketika kita hanya meninggalkan satu kegiatan saja (tahlilan/hajatan tersebut)
tidak akan membuat kita dijauhi oleh masyarakat di mana kita tinggal.
3.
Mengenai makan dan minum pada perjamuan tahlilan,
sekalipun makanan dan minuman tersebut berasal dari para warga RT, namun tetap
saja dapat digolongkan pada perbuatan tabzir, sehingga layak untuk
ditinggalkan.
Wallahu
a'lam bish-shawab. *) (Fatwa Tarjih).